Thursday, 10 April 2014
Posted by arifiyanto on 14:54 with No comments
Kapan terakhir Anda mendengar kata ini : tapal gigi? Untuk Anda dari generasi tua, pasti sudah sangat lama tidak mendengar istilah ini, untuk Anda dari generasi muda mungkin malahan belum pernah mendengar istilah ini. Tapal gigi sama dan sebangun maknanya dengan ’pasta gigi’ atau ’odol’. Di iklan koran jadul tahun 1950an, bisa kita temukan kata ’tapal gigi’ ini mempromosikan produk ’Prodent’ misalnya. Tanpa kita sadari istilah ’tapal gigi’ ini perlahan-lahan surut dan menghilang dari peredaran wacana. ’Tapal gigi’ adalah salah satu kata/istilah yang belum masuk museum atau masuk kotak (dalam istilah linguistik archaic atau obsolete), namun hampir-hampir tak pernah dipakai orang lagi.
Alasan kata-kata ini tak dipakai orang bisa bermacam-macam. Mungkin karena kata tersebut mengacu kepada nama benda-benda yang sudah tidak lagi dipakai di zaman sekarang ini. Mungkin juga karena ada istilah penggantinya yang lebih afdal dan lebih akurat. Namun tak sedikit yang memudar dalam memori masyarakat tanpa alasan yang jelas. Just blowing in the wind alias hilang bersama angin lalu.
Kata-kata yang masuk kategori ‘nyaris tak terdengar’ mengacu pada kata benda yang dianggap usang, antara lain : terompah, perigi, pinggan, gergasi, gada, sais, biduk, pelanduk, hotel prodeo, penyamun, pusara, steno, ladam, pencahar, belanga, penatu, biduan, sokongan, kendi, kembang gula, buah pinggang, periuk api, suryakanta, hartawan, kertas buram, dawat, sembilu, onak, dangau. Berapa persen dari kata-kata yang disebutkan di atas masih Anda kenali maknanya? Kata ’gergasi’ misalnya mengacu pada sosok raksasa dalam cerita dongeng, ’gada’ adalah senjata pemukul berbentuk tangkai dengan bulatan bergerigi yang sering dipakai oleh Bima dalam hikayat wayang. Buah pinggang adalah ginjal, periuk api adalah granat dan suryakanta adalah kaca pembesar. Kata-kata di atas memang masih resmi terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun mengalami nasib yang ’merana’ (ini juga kata yang dewasa ini jarang dipakai) bak ditinggal pacar. Saya tertarik dengan kata ’sokongan’ yang sebenarnya bisa dipakai untuk padanan kata ’support’, namun lagi-lagi dia sudah tersisihkan.
Kata-kata kerja dan kata-kata sifat juga cukup banyak yang terancam masuk ke dalam kotak barang rombengan, sekali pun menurut saya banyak di antaranya yang justru sangat indah untuk dipakai. Misalnya frasa ’anjing menyalak’ (atau penggunaan metafora ’tembakan menyalak di tengah malam buta), mendendangkan lagu’, ’ia berkata dengan nyaring’, ’langit-langit yang tiris’, ’rambutnya ikal’, ’pohon yangrindang’, ’kaum papa’, ’mengetam kayu, ’polisi gadungan’, ’angin sakal’, ’penjaga yang garang’, ’penat bekerja’, ’suaranya merdu’, ia sangat rupawan’,’matanyaterbeliak’, ’ia menghardik’. Bahkan nama hari Minggu di suratkabar tempo doeloe ditulis dengan ’hari Ahad’.
Coba saya ingin mengetes cakrawala bahasa Anda dengan kata berikut ini : buku. Apa yang tercetus dalam benak Anda mendengar kata ini? Semua dari Anda pasti akan menjawab dengan ’kitab atau pustaka’. Selain dari permaknaan ini, apalagi yang bisa dilukiskan dengan kata ’buku’ ini? Ya, sebagian besar daripada kita sudah tak mengingat lagi bahwa ’buku’ juga bermakna ’tempat pertemuan dua ruas (jari, buluh, bambu, tebu)’. Lalu kata pekan, apa yang tercetus dalam pikiran Anda selain makna ’minggu’ (week). Ya, kita pun sudah hampir lupa pelajaran membaca di kelas 1 SD yang berbunyi ’ibu pergi ke pekan’ yang tak lain bermakna ’ibu pergi ke pasar’.
Saya akan mengakhiri tulisan ini juga dengan iklan seorang tabib di sebuah koran jadul yang antara lain menyebutkan sanggup mengobati penyakit pitam. Penyakit apa gerangan itu? Tak lain dia adalah penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi. Zaman selalu berubah, kata-kata yang kini populer, bisa saja menjadi kata usang esok lusa. Namun seperti judul tulisan saya ini : kata-kata usang dibuang sayang.
Categories: serba serbi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment